Orasipublik.com, SIDOARJO – Ombudsman RI dan Komisi II DPR melaksanakan inspeksi mendadak (sidak) di Lapas Kelas 1 Surabaya di Porong, Sidoarjo, Sabtu (20/5/2023). Hasil sidak mengungkap kondisi ransum untuk penghuni lapas yang kurang layak, yakni adanya nasi berbahan baku beras rusak, pecah-pecah, berkutu, dan tidak standar Bulog.
Sidak dilakukan oleh anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat dan anggota Komisi II DPR Rahmat Muhajirin. Ikut dalam kegiatan tersebut Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin.
Mereka tiba di penjara terbesar di Jawa Timur itu pada Sabtu sekitar pukul 14.30. Kunjungan itu mendadak. Tanpa pemberitahuan kepada Kalapas Jalu Yuswa Panjang dan Kemenkum HAM Jawa Timur. Meski demikian, petugas menyambut kunjungan dengan baik dan menyilahkan tim sidak masuk ke dalam lapas.
Awalnya, tim sidak mendatangi bengkel kerja (workshop) furniture dan mendapat penjelasan bahwa produk penghuni lapas tersebut sudah diekspor. ”Omzetnya sekitar Rp 320-an juta pertahun, ada yang diekspor ke AS,” ujar petugas. Produk unggulan program kemandirian ketrampilan lapas lainnya adalah es batu kristal, tahu “Nigarin” berbahan organik, usaha peternakan, dan pertanian.
Saat hendak menuju ke blok lapas, Kalapas Jalu datang. Dia lantas mendampingi tim sidak untuk mendatangi blok D yang ditempati para narapidana hukuman mati. Di antaranya, terpidana mati kasus pembunuhan bos Asaba, Suud Rusli. Tim sidak blusukan ke dalam sel, bahkan mengecek toilet. Kalapas Jalu menjelaskan bahwa bangunan blok D dalam kondisi bagus. Ada overcapacity, tetapi tidak sampai mengganggu aktivitas penghuni lapas.
Saat berada di blok D, tim sidak sempat membuka kotak ransum makanan. Menunya, nasi oseng-oseng kangkung dan lauk tempe tahu. Yang terasa janggal adalah nasi yang sepertinya berbahan menir atau nasi pecah-pecah hasil gilingan.
Tim sidak lantas mengecek stok beras di gudang yang berada di dapur. Tampak tumpukan karung beras. Saat diamati, kondisi beras pecah-pecah, sebagian berkutu, dan berwarga pucat. ”Berasnya kok pecah-pecah begini ya?. Ini sepertinya beras lama,” kata Jemsly sambil menggenggam beras yang diambil dari karung. Tim sidak mendapati informasi bahwa suplai beras berasal dari pasar tradisional tanpa diketahui siapa pemasoknya.
Selanjutnya, tim sidak mendatangi poliklinik untuk penghuni lapas. Saat itu, tidak ada dokter, yang ada hanya perawat. ”Dokter untuk berjaga di hari kerja. Kalau hari Sabtu, libur begini, biasanya hanya perawat,” ujar Kalapas Jalu. Pada hari kerja, hanya ada 1 dokter umum dan 1 dokter gigi. Tampaknya, rasio dokter ini tidak sebanding karena harus melayani 1.549 penghuni lapas.
Di poliklinik, kondisi ruangan cukup layak. Ruang rawat inap tersedia belasan bed, yang saat itu tidak ada pasien rawat inap. Poliklinik juga menyediakan ruangan untuk penghuni lansia yang mengidap sakit tahunan. Obat-obatan juga tersedia lengkap di apotek lapas.
Setelah sidak, Jemsly mengatakan bahwa pimpinan lapas segera memperbaiki kualitas beras. Minimal setara standar Bulog. ”Saya sudah berkali-kali melakukan kunjungan ke lapas dan rutan, tapi baru kali ini mendapati kondisi beras untuk warga binaan yang kurang layak. Beras pecah-pecah. Mohon ada perbaikan Pak Kalapas,” kata Jemsly yang saat diwawancarai didampingi Kalapas Jalu.
Meski demikian, Jemsly menyebut bahwa Lapas Porong dalam kondisi baik. Bahkan, dia terkesan dengan berbagai program kemandirian ketrampilan, yang bisa menjadi bekal wiraswasta bagi penghuni jika kelak bebas.
Anggota Komisi II DPR Rahmat Muhajirin mengatakan, temuan adanya beras tidak layak itu bisa jadi karena tidak sengaja. Supplier beras mengirimkan stok beras yang umumnya layak dikonsumsi, hanya kebetulan saja yang ditemukan adalah beberapa karung dengan kondisi beras pecah-pecah. ”Mudah-mudahan begitu, hanya satu dua kasus. Beras di sini (lapas) harusnya layak dikonsumsi,” kata Rahmat.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin menegaskan, temuan beras pecah-pecah itu menunjukkan tidak adanya standarisasi beras layak konsumsi untuk penghuni lapas. Anggaran ransum harian untuk penghuni lapas memang sangat terbatas, tetapi itu bukan berarti mereka diberikan makanan yang kurang layak. ”Harus ada perbaikan. Jangan sampai beras tidak layak itu justru memunculkan permasalahan baru berupa gangguan pencernaan bagi penguni lapas,” ujar Agus.
Reporter : Anis
Editor : Saleh